Rabu, 08 Desember 2021

Violet Vision

 


Berjuta kali kata-kata merangkai dalam pikiran menunjukkan betapa rumitnya jalan cerita yang terukir dari waktu ke waktu. Seribu kali diam dalam pikiran kata-kata, layaknya ambigu yang masih tersimpan rapat. Puluhan kali disampaikan bagaimana huruf-huruf tersebut akan membangun cerita yang utuh. Pikiran itu terus saja mengombang-ambingkan seluruh benak perasaan yang diam mencoba bergerak walau terpaan angin menghadang. Mesin waktu hanya sebentar berjalan untuk kembali mengajak pikiran berpikir ulang di dalam benak namun sangkaan selalu berada di depan kata-kata. Betapa tidak menentunya pikiran dan menjadikannya beban dalam hati. Langkah kedepan tak pasti namun mundur ke belakang juga sudah tak bisa. Kekuatan hati dan pikiraan menjadi lemah, menatap gelisah tentang waktu yang berlari menjauh setiap saat.

Detik itu pun juga menjauh dalam rangkaian pikiran yang tak menentu, bagaimanapun itu adalah campuran rasa yang terkurung milyaran detik sejak terakhir berada dalam hati. Penemuan tentang hati selalu bisa membangun kembali kepercayaan atau menghancurkan kepercayaan siapa diri sebenarnya. Tatapan yang membutakan hanya bisa menatap lurus tanpa bisa merasakan aliran warna di sekitarnya. Tumbukan pikiran dan hati berubah menjadi boomerang yang menggelegarkan seluruh singgasana pikiran. Dalam ribuan hari itu menjadi violet vision. Violet tentang hidup atau tidak pun masih berada dalam setiap kata-kata yang terlintas, hanya saja diwakilkan oleh seratus rangkaian pikiran yang tak menentu. Apakah bisa menjadi penglihatan jelas dalam segala keadaan?

Akal dan pikiran tak menyatu dan saling berselisih mengenai nilai yang paling bisa dipercaya. Tak ada kata andai yang berlalu dan kata itu terus bermunculan menjadi candu yang menumbuhkan ketidakpercayaan. Mungkin saja perasaan yang bertarung dengan pikiran menjadi lawan yang sulit dikalahkan. Walaupun sejuta kata berbicara mengenai jajaran pikiran yang terukir dalam satu kata percaya, sesulit itukah untuk tak melupakannya dalam alam pikiran? Warna yang baru saja diantarkan dalam kata-kata membekas di setiap perjalanan pikiran dan hanya bisa menggunung di dalam perbukitan hati. Suasana seperti itu membeku dalam rentang waktu ribuan bulan dan hanya bisa menjawab dalam diam.

Wajah matahari yang mulai tak terlihat dalam kesendiriannya dan mendungnya awan yang mulai menghitam, menandakan detik-detik kabut akan segera datang menghampiri. Gerhana yang tak seharusnya muncul mulai hidup kembali dalam aliran angin dari ujung timur. Bagaimanapun angin sering memberi kabar bahwa warna alam akan segera berubah menjadi violet. Dalam rentang berapa bulan lagi gerhana akan menyatu dengan matahari dan merubah semua cahaya menjadi tak terlihat dan membentangkan alam dengan restorasi hitam? Batu-batu pun tak akan kuat lagi menahan runtuhnya langit yang memanas karena matahari yang terus berada setiap saat. Sudahkah bertanya tentang bagaimana keadaan violet itu kepada alam?

Secarik kertas hanya bisa menghiasi kata-kata dengan tinta hitam, mengubah dari kosong menjadi penuh huruf. Bukan berarti, semua kata-kata akan menjadi histori yang akan dikenang dalam kehidupan. Kata-kata fokus yang tidak bisa dituangkan dalam deretan kalimat sudah pasti bukan isi dari pikiran, hanya terlintas dan mencoba lari dari apa yang akan dirangkai dalam kertas putih atau kertas buram. Waktu, mungkinkah kembali tenang dan damai dalam menghadapai berbagai sekeluwet jalinan kata-kata yang sudah ada dalam barisan pikiran dan bersiap untuk ditumpahkan kapan saja? Inikah yang disebut dengan anggukan sebentar, tak menilai tetapi hanya sebuah pandangan violet dalam kesendirian pikiran.

Kata-kata yang lugas dan terang selalu membuat siapa pun yang membacanya akan mengingat dengan baik layaknya setiap tinta yang dilukiskan di coretan tak pernah hilang. Tentang hati dan pikiran yang menyangkut kata-kata akan dikemas untuk dikembangkan dan disampaikan atau dikuburkan bersama ketidaksadaran pikiran. Berjuta kali rasa memaki dalam diri terus bertambah, bertanya tentang setiap peran kata yang terlintas dan mungkin hanya sebatas mimpi yang tak diingat kembali. Alur kata yang dirangkai menyakinkan kedalam hati bahwa itu adalah kekuatan yang disampaikan melalui huruf-huruf. Benarkah? Dan kata-kata itu diperdengarkan kembali ke dalam sanubari pikiran. Menghitung waktu, itulah jalan cerita yang sedang dirangkum, bisa jadi terlalu cepat, terlalu lambat atau hening di tempat seperti fatamorgana.  

Dalam alur cerita, kata-kata akan menjadi sangat bermakna, mengarah ke tujuan yang tepat, mengubah banyak pikiran dan hati namun akhirnya berhenti di akhir cerita. Rantai kata yang panjang mungkin berhasil memperhalus cerita menjadi nyata dan menarik namun kembali berakhir di titik. Suasana yang membeku, tak ada matahari, hanya angin dingin yang selalu hilir mudik menambah bekunya pikiran sepanjang detik yang berlalu. Alur cerita tak seperti alur kata yang akhirnya bisa berlepas diri dari keterkaitan antara pikiran dan hati. Lagi dan lagi, menghitung detik matahari akan kembali bersinar membuat tumpukan huruf itu menggunung semakin membesar, menilik apakah akan ada kelanjutan dari kata-kata. Tidak, matahari akan kembali dan menyinari bagaimana ia bersinar seperti biasanya. Satu dua kata mungkin tak bisa menjadi alur cerita komplit. Bukan mungkin, tapi realitanya seperti itu, terus berulang dan berulang dalam kelok sembilan pikiran, menanjak-menurun mengikuti arus pikiran dan hati, berhenti sebentar dan mengangguk kalimat yang dirangkai tanpa isi. Sungguh, kata-kata pikiran ini begitu jenaka, mengejek sendiri bagaimana karangan ini dibuat dengan keabsurdan tangan.

Sore (bagian 6)


 

Hai, Sore. Sudah lama aku tak menyapamu dengan penuh tatap. Aku hanya sering mendengar ceritamu yang kau lukiskan pada ujung hari. Sore, sekarang waktumu belum muncul. Aku menyapamu lebih dulu. Aku banyak menuliskan lagu yang berceloteh tentangmu. Tentunya kusisipkan juga cerita alam, malam, dan siang, diiringi dengan alunan nada dalam waktu. Sore, mungkin saat ini kau berada di ufuk barat, menunggu pagi dan siang berlalu. Sore, waktu yang kau punya tidak lama, sesaat sebelum berakhir  dengan terbenamnya waktu. Itulah sapaan pertamaku padamu Sore.

Sore masih saja sama, ia belum terbangun dari tidur panjangnya. Ia hanya bisa bertemu dan menyapa siang di penghujung waktu tetapi untuk menyapa pagi, ia tak bisa melewati batasan garis alam terhadapnya. Sekeras apapun Sore mencoba, ia tak akan pernah bertemu pagi karena mereka berada pada takdir waktu masing-masing. Keinginan menyapa bagi mereka tak akan diizinkan oleh alam. Itulah takdir mereka. 

Sore, aku ingin bercerita tentang waktu yang telah kutemui di setiap perjalanan alam. Setiap detik yang menghampiriku, ku bergumam andai waktukku berhenti, mungkin aku tak akan pernah merasakan kesempatan yang diberikan alam untuk melihat jauh bagaimana aku berjalan. Sore, perjalanan waktu yang ditentukan sedang berlangsung melaju dengan arahannya. Inilah cerita yang ingin kusampaikan padamu Sore. Aku teringat setiap pertanyaan yang aku lontarkan padamu Sore tentang alam dan waktu, tentang bagaimana aku hanya bisa berdiam di setiap rumitnya waktu yang tak pernah berhenti dan hening mulai datang kepadaku. Jawabannya tak kutemukan dengan cepat namun lambat laun aku tak menyadari jawabannya ada pada diriku. Dalam perjalanan waktu, sedikit sekali, aku bisa mengartikan semua tanda-tanda yang mengelilingimu Sore, aku mulai bergumam lagi, secepat inikah aku tak menyadari keberadaanku sendiri di tengah melesatnya waktu. Ini hanya imajinasi, pikirku. Setiap jalan yang aku lalui menuju waktu dan jawaban, menguras seluruh emosi dan pikiran. Sore, itu layaknya roller coaster, melaju dan berputar mengelilingi lintasan dan membuat arah yang terus berkelok naik turun dalam hitungan waktu. Itu pun tak seperti roller coaster yang dibayangkan akan melaju secepat cahaya untuk sampai di tujuan waktu. Kadang, ia hanya diam di tengah keramaian waktu yang terhenti saat seluruh emosi terperangkap dalam gemuruh pikiran. Sore, aku belum bisa menemukan jawaban yang tepat saat waktu bersamaku. Sore terdiam dengan dentingan waktu yang jatuh di pangkuannya karena sore sendiri berada di antara alur siang dan malam. Bagaimanapun waktu sore tidak begitu lama dan kesempatan untuk bercerita pada sore tidak selama saat pagi dan siang begitu juga dengan malam. Inilah kesempatanku untuk menyapamu Sore, mengemukakan sedikit demi sedikit emosi yang terkurung dalam perjalanan waktu hingga saat ini. Sore tak seperti malam dan siang, sore mendengarkan semua alunan cerita yang dituliskan. Setiap serat warna sore memberi celah tentang pelangi hidup yang sebentar dan aku terdiam.

Sudahkah bercerita kepada malam tentang waktu dan jawaban? Pelangi hidup memberikan banyak warna, mungkin saja malam akan memberikan pandangan berbeda terhadap emosi yang dituliskan. mungkin saja, warna pertama dalam malam tak selalu dengan hitam, mungkin saja warna jingga di tepian bercampur dengan terangnya kuning di ujung lembanyung senja. Secercah apapun jalanan waktu yang ada, kau harus menyadarinya bahwa warna itu akan bercampur baur dan menghasilkan sejuta warna pelangi hidup yang tak pernah kau bayangkan. Atau jawaban itu yang harus kau buktikan sendiri keberadaannya, berjalan saja tak cukup, coba saja dengan berlari setekad dirimu menghembuskan napas agar kau bertahan terhadap dalamnya lautan dan derasnya hujan. Oh mungkin, hujan pun bisa menjadi jawaban dan arah yang menghapuskan seluruh lembayung hitam di sudut penglihatanmu. Saat hujan ada, kau harus peka terhadap jawaban arah dan warna yang disiratkannya dalam bentuk alunan nada. Mungkin akan sebentar dan mungkin akan sangat lama Dengarkanlah setiap nada gita yang timbul ketika rintikan itu semakin membesar dan bertubrukan dengan kerasnya bumi. Saat itu kau tak boleh berhenti dan menatap kosong. Itulah saat yang tepat untuk mendengar jawabannya.


Bandung, 8 Desember 2021. Intan Sari. 

Serendipity

   Before the moonshine came out to announce the day will be clear with shining stars, the sun has been informed to the sky do not move thos...